Megabencana Indonesia

TSUNAMI mendadak menjadi kata yang akrab bagi telinga seluruh anak bangsa. Akrab, bukan karena dia penghibur atau pahlawan, tetapi sebaliknya: peng-hancur yang sangat menakutkan. Tsunami lahir dari rangkaian ombak dengan gelombang yang tinggi dan besar. Tsunami timbul karena dipicu oleh gempa, letusan gunung atau longsor di dasar laut. Di sisi lain, posisi Indonesia yang berada di antara tiga lempengan tektonik (lempengan Eropa Asia, lempe-ngan Indonesia Australia, dan lempengan Pasifik), merupakan posisi yang cukup riskan.

Tsunami, yang asalnya dari ba-hasa Jepang, yang artinya gelombang pasang , merupakan bencana laut yang sangat menakutkan karena dapat meratakan pemukiman penduduk di daerah pesisir dalam waktu yang sangat singkat. Karena itu Tsunami yang melanda Thailand, India, Sri Lanka, Malaysia, dan Indonesia pada Minggu pagi 26 Desember 2004 lalu, telah menimbulkan kerugian yang tak terhitung jumlahnya, bukan saja dari segi materi, tetapi juga dari segi moril. Diperlukan waktu yang sangat panjang untuk memulih-kannya. Bagi Indonesia sendiri, badai gelombang Tsunami yang menerjang Aceh dan Nias (Suma-tera Utara) itu bukan peristiwa pertama. Namun, ini merupakan bencana Tsunami yang terbesar, yang telah menelan korban lebih dari 116 ribu jiwa dari segala usia.

Berbagai perspektif bermunculan menyikapi bencana ini. Bagi para ilmuwan, peristiwa ini menjadi tan-tangan tersendiri, bagaimana men-deteksi gejalanya sedini mungkin, bahkan kalau bisa menaklukkan-nya. Sedangkan bagi para sosiolog, yang menjadi perhatian adalah upaya pemulihan kehidupan para korban secepatnya. Kerja sama dengan para psikolog tentu sangat diperlukan untuk pemulihan dari segi kejiwaan, sementara petugas medis mengobati fisik. Kalangan ekonom, akan sibuk menghitung jumlah kerugian dan biaya yang dibutuhkan untuk membangun kembali kawasan yang sudah luluh lantak itu. Sementara para sarjana teknik sibuk memikirkan konstruksi yang aman bagi bangunan yang berada di daerah rawan tsunami.

Lalu apa yang akan dikerjakan oleh para teolog (baca: agama-wan)? Kalangan yang satu ini memang paling sulit untuk berse-pakat memahami apa saja. Tetapi yang pasti, mereka akan bersatu pendapat untuk berkata, Mari kita berdoa. Atas musibah seperti ini, agamawan segera berhitung ten-tang berapa besar dosa umat sehingga Tuhan menjatuhkan hukuman. Namun mereka sering-kali lupa bahwa tanpa bencana Tsunami, masyarakat Jakarta selalu panen besar aneka dosa. Korupsi dan manipulasi bukan lagi persoalan aparatur negara, tetapi juga pelayan gereja.

Kemarahan Tsunami harus juga dipahami sebagai kelalaian umat manusia mengelola alam yang diberikan Tuhan (Mandat budaya). Alam ini diberikan untuk dipelihara, bukan untuk diekploitasi, dijaga bukan dijarah (Kejadian 1: 27-28). Tetapi manusia merusaknya atas nama meneruskan kehidupan. Lihat saja hutan yang semakin rusak parah, digunduli demi ke-untungan yang tidak terbilang tan-pa ada usaha reboisasi. Belum lagi penggalian pertambangan yang menghalalkan perusakan lingku-ngan. Akibatnya sederhana saja, panas bumi meningkat, erosi me-nelan pulau, gempa muncul sema-kin menggila. Bumi sakit parah karena disakiti manusia yang serakah. Jadi secara ilmiah, Tsunami hanyalah bagian kecil dari keru-sakan sistem alam yang dizalimi ma-nusia (untuk ini perlu riset lebih lanjut dari para saintis).

Jadi apakah dengan adanya musibah ini berarti Tuhan marah dan merusak bumi? Jawaban saya sangat pasti TIDAK! Sebaliknya, Tuhan marah karena manusia merusak bumi yang diberikan-Nya untuk didiami dan dipelihara manusia. Manusia merusak bumi, siapa yang membantahnya? Hanya mereka yang tidak mau belajarlah yang tidak memahaminya. Karena itu, sebagai ciptaan unggulan, manusia harus melengkapi diri agar dapat menjadi pengendali hidup dan bumi ini, khususnya kepada mereka yang mengaku orang percaya. Ingat, Tuhan memberi kita kuasa untuk mengelola alam semesta. Namun, Tuhan tidak per-nah memberi sedikit pun ruang bagi kita untuk merusaknya.

Tsunami adalah salah satu dari sekian kisah betapa manusia gagal menjalankan tugas mulianya me-melihara alam semesta. Di sisi lain, Tsunami memang secara gemilang menghapus berbagai perbedaan yang seringkali menjadi bibit per-musuhan. Semua orang (tanpa memandang perbedaan latar-be-lakang suku, agama, ras), bahu-membahu saling bantu. Namun bukan berarti Anda hanya berkata, Mari kita ambil maknanya (per-saudaraan) , lalu lupa bahwa kita adalah tersangka utama kasus Tsunami.

Haruskah, untuk tetap bersatu dan jauh dari diskriminasi akibat aro-gansi mayoritas maka kita meng-harapkan bencana lagi? Ah Tsunami sudah megabencana, berita-nya lebih dari megakorupsi. Atau megabencana akan berubah men-jadi megakorupsi Indonesia? Ahh, kasus perusakan alam saja belum dipertanggungjawabkan, sudah ditambah lagi dengan kasus baru. Ini, megap megap Indonesia namanya (gereja, kayaknya masuk, lho).*

Sumber : reformata.com

Leave a comment