Category Archives: Mata Hati

HARAPAN BARU DI TAHUN BARU

KATA harapan baru dalam memasuki tahun baru, sudah menjadi kata klise yang kehilangan bobot. Bagaimana tidak, tiap kali kata itu diucapkan tak selalu diikuti oleh kenyataan. Bahkan tak jarang yang terjadi malah sebaliknya. Atau yang lebih ironis lagi, sudah diperhitungkan dengan teliti bahwa krisis akan terjadi, namun akal sehat seakan terbunuh, tetap saja harapan baru yang terucap. Harapan baru yang sering kali membuat orang terlena, tak lagi berjaga dan akhirnya harus kecewa, karena tak pernah siap.

Mengapa harus mengumbar harapan baru jika memang situasi tak berpihak pada diri? Jawaban yang juga klise adalah optimisme. Ya, optimis, tiap orang harus optimis akan masa depan, tidak boleh pesimis, teriak penganut teori motivasi yang kini kian menjamur. Belum lagi obsesi berpikir positif, jadi optimis saja. Begitu juga dengan alasan beriman, maka tiap orang digugat harus optimis. Apakah optimis salah? Mungkin Anda juga turut menyanggah saat membaca tulisan ini. Maka jawabnya jelas, tentu saja tidak. Tapi, itu tidak juga berarti benar.

Ah, mungkin sekarang Anda malah menjadi bingung, karena kalau benar, pasti tidak salah, atau sebaliknya. Masalahnya di sini bukan soal benar atau salah, tapi ada yang lebih serius dari itu, yaitu, penganalisaan masalah. Pertanyaan pertama tentu saja, apakah jika tidak bersikap optimis itu berarti pesimis? Belum tentu! Karena di antara dua posisi itu, jangan lupa, ada sikap realistis. Ya, realistis, karena mampu membaca situasi dengan jeli dan tidak berusaha menipu diri. Realistis tidak sama dengan pesimis, tetapi juga tidak sama dengan optimis. Realistis membuat seseorang berhitung hati-hati, berusaha agar, kalaupun meleset, tidak terlalu jauh dan mampu menanggulanginya.

Pesimis membuat seseorang kalah sebelum berperang, sementara optimis membuat seseorang menang sebelum tahu apa yang akan dihadapi dalam perang. Pesismis, membuat orang tak berdaya, ragu, dan tidak berminat mencoba. Tapi jangan lupa, optimis seringkali membuat seseorang menjadi lengah, dan mudah jatuh dalam kekecewaan yang berat, karena selalu tak siap untuk sebuah kegagalan. Sementara, orang yang realistis selalu optimis berdasarkan analisis yang bisa dipertanggungjawabkan. Jadi, realistis itu optimis tapi bukan sekadar optimis seperti pada umumnya sehingga mengabaikan realita yang ada. Sementara pesimis juga mengabaikan harapan yang masih tersisa.

Dalam realita masa kini, optimisme memang telah menjadi mantera baru. Dibangun dari sebuah pemahaman bahwa manusia memiliki apa yang disebut sebagai human potential. Sebuah potensi terpendam yang harus digali agar menjadi kekuatan tak berbatas. Manusia didorong dengan men-sugesti diri bahwa mereka bisa, bahwa mereka hebat. Mereka bisa menjual, jika itu di-marketing, atau, mereka bisa juara jika itu dalam kancah perlombaan. Optimis yang dibangun dengan sugesti yang tinggi memang banyak terbukti ampuh, namun tak sedikit yang gugur. Belum lagi sikap percaya diri yang terlalu kuat yang berakibat tak mampu intropeksi apalagi dikritisi. Mereka cenderung self oriented, bahkan dalam skala tertentu “playing God”.

Orang jaman dulu, seperti para ksatria atau pendekar, adalah mereka yang memiliki keberanian ekstra dibanding orang pada umumnya. Keberanian mereka yang luar biasa telah menambah bukan saja kekuatan yang ekstra tetapi juga daya tahan yang luar biasa. Karena keyakinan sebagai ksatria, mereka tidak akan mengeluh, dan akan menahan rasa sakit dengan seluruh tenaga yang tersisa. Mereka tidak boleh tampak lemah, karena kelemahan adalah musuh sejati mereka. Mereka memang menang dan selalu menjadi pemenang, bahkan di kematiannya sekalipun. Namun, hidup mereka hanya terpusat pada diri sendiri, karena mereka sangat lemah untuk berbagi. Mereka menjadi robot berdaging yang kehilangan rasa cinta dan kelemahlembutan sekalipun kaya patriotisme. Mereka tak lagi menjadi manusia yang utuh. Anak, istrinya bisa kehilangan sang ksatria karena konsekuensi sikap yang dipilihnya.

Di sisi lain, apalagi jika iman yang dijadikan dalih untuk optimis, dan menambahkan kata-kata “kita harus percaya Allah pasti bisa menolong”. Ini lebih mengerikan lagi, karena Allah pun mau “diatur” supaya tunduk pada keyakinan umat. Sangat banyak pengkhotbah mengacaukan nalar yang juga adalah anugerah Allah, mengabaikan, bahkan menghanyutkan jemaat pada emosi yang tidak terkendali atas nama kalimat “Allah pasti bisa menolong. Kalau sakit, pegang dan percayalah maka sakitmu akan sembuh”. Mereka lupa, atau mungkin tidak membaca, kisah Paulus yang minta tolong agar Allah mencabut duri dari dalam tubuhnya. Namun Allah tidak pernah mengabulkannya sekalipun Paulus telah tiga kali memintanya. Akhirnya Paulus berkata, “Di dalam siksaan aku senang oleh karena Kristus, sebab jika aku lemah maka aku kuat” (II Korintus 12:10).

Allah pasti bisa menolong, itu sudah pasti! Tidak mungkin Allah tidak bisa menolong, karena tidak ada yang mustahil bagi Allah. Namun jangan lupa, Allah juga punya rencana yang tidak dapat kita pahami kini, melainkan nanti. Paulus tak mendapatkan apa yang dia inginkan, namun mendapatkan yang lebih baik, yaitu konsep iman yang terus diperbaharui, sekalipun tetap dalam penderitaan. Juga harus diingat, pasti Allah tidak bisa menolong kita untuk berbuat dosa, karena DIA adalah Allah yang suci. Jadi, ada yang Allah tidak bisa, namun manusia bisa (II Timotius 2:13). Karena itu, iman seharusnya sejalan dengan nalar yang telah diperbaharui oleh Roh Kudus (Efesus 4: 23-24), bukan suka-suka kita, atau sekadar percaya. Artinya, apa yang diimani itu harus bisa dinalar oleh manusia sebagai umat yang telah ditebus. Nalar berasal dari Allah, anugerah Allah, yang diberikan agar umat bisa mengerti apa yang menjadi ketetapan-ketetapan Allah, sekaligus untuk menguji berbagai pendapat tentang DIA, agar umat tidak tersesat (I Tesalonika 5: 21-22). Nah, ini berarti beriman bukan sekadar beriman, tetapi juga bernalar, tetapi nalar yang harus tunduk pada iman yang benar, yaitu iman yang berpusat kepada Allah sang pencipta, pemelihara dan penebus yang kekal dan maha-segalanya.

Kembali kepada harapan baru, di tahun baru. Sebagai orang beriman kita harus menyadari kasih setia Allah selalu baru setiap hari (Ratapan 3: 21-23). Namun, baru tidak berarti yang sedikit bertambah banyak, atau yang tidak tenang menjadi tenang, bahkan bisa sebaliknya. Jadi, arti harapan baru di sini tidak sama dengan pemahaman umum. Tetapi, sekalipun fenomena yang tampak tidak baik, Allah tetap baik, tidak ada yang salah dalam karya-NYA. Nah, jadi apa yang dimaksud dengan harapan baru, atau, lebih baik dari tahun lalu, jelas sudah. Awas, jangan terjebak pada fenomena, atau terbawa arus nilai relatif dunia. Anda berpikir harus berbeda. Selamat baru karena memang Anda sudah baru sejak menjadi milik Kristus, dan, terus-menerus diperbaharui, supaya tetap baru.

KEMEWAHAN NATAL, KEMATIAN FATAL

Tak kurang kisah buram seputar Natal di dalam Alkitab, namun tak juga cukup untuk menjadi pembelajar-an umat. Seluruh kitab Injil sepakat mencatat ironi Natal, kisah kebodohan manusia yang tidak mengenal Tuhan yang men-ciptakannya. Yohanes dengan lugas mengisahkan penolakan umat terhadap sang Bayi Kudus, Allah pencipta semesta. Inilah wajah buram Natal. Yohanes 1:10-11, mengatakan: IA telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-NYA, tetapi dunia tidak mengenal-NYA. IA datang kepada milik kepunyaan-NYA, tetapi orang kepunyaan-NYA itu tidak menerima-NYA.

Natal yang sejati memang pe-nuh air mata, dan lagu “Malam Kudus” dengan jeli telah memo-tretnya. Natal memang betul be-rita suka cita karena Juru Selamat datang. Namun permasalahannya adalah: siapa yang menyambut DIA? Nyata nyatanya manusia tak menyambut DIA Yesus bayi Natal itu. Bukan itu saja, masih banyak sisi buram lainnya, namun semua dalam satu kisah yang sa-ma betapa manusia tak memiliki kepekaan untuk memahami keha-diran-NYA di muka bumi ini.

Ya, kehadiran Yesus Kristus bayi kudus itu, telah ditolak dan terno-da oleh perilaku manusia yang justru hendak diselamatkan-NYA. Oh… buramnya Natal di malam yang kudus. Di sana yang tampak nyata hanyalah kepongahan, ke-egoisan, ketidak pedulian manusia terhadap Anak Allah pemilik alam semesta.

Dia Anak Allah yang turun dari surga, yang telah melakukan perjalanan yang bukan saja sa-ngat panjang, dari kekekalan ke-pada kesemantaraan, tetapi juga yang rela memilih tempat hina sebagai simpati NYA kepada ke-lompok bawah, kelompok tersi-sih. Natal sebuah keberpihakan yang luar biasa.

Kini, di sini, saat ini, Natal di bumi pertiwi, juga diwarnai kekalutan dan kesedihan yang mendalam. Mereka yang di waktu lampau di-terpa tsunami belum usai memu-lihkan keadaan, baik yang di Aceh maupun Nias. Begitu juga korban gempa di Yogyakarta, masih pan-jang barisan mereka yang menderi-ta. Lalu yang masih bergelut dalam kegetiran dan ketidakpastian adalah rekan-rekan yang ada di Sidoarjo, Jawa Timur. Mereka korban lumpur panas Lapindo yang tak kunjung berhenti. Ganti rugi sudah disepa-kati, namun realisasi masih dalam penantian, dan, tentu saja semoga bukan hanya mimpi. Belum lagi barisan rakyat miskin yang selalu tersisih dan terabaikan.

Yah… semakin hari, semakin ke sini, semakin dekat de-ngan kita, Natal selalu bu-ram, seburam Natal perta-ma, namun dalam bentuk yang berbeda. Jika dulu di Natal pertama Yesus yang terabaikan, kini me-reka yang menjadi korban keganasan alam, atau mereka yang termiskinkan karena berbagai hal yang tak kuasa mereka hindari. Mereka hanya menjadi penonton kemewahan dan kemeriahan Natal. Mereka tak dapat ber-baur, karena tak tersedia tempat, seprti Yesus yang juga tak punya tempat.

Cobalah lihat, tebaran perayaan Natal yang lebih mirip pesta ketimbang ibadah. Atau pergelaran acara kelas raksasa yang justru tak mampu ber-intekasi secara utuh an-tar-umat, apalagi dengan gembala yang tampaknya semakin sulit terdekati, kecuali oleh orang dari kelas tertentu saja. En-tah mengapa harus besar, katanya sih karena Tuhan itu besar. Padahal DIA tak pernah meminta apalagi memerintah acara yang besar un-tuk diri-NYA. Sudah jelas DIA memilih kesederhanaan untuk diri-NYA. Yang sesungguhnya ada, adalah, kami bisa membuat yang besar, atau kami tak kalah besar. Padahal, besar dalam kesejatian Natal adalah kerelaan untuk menjadi tiada, dan bukannya ada. Kerelaan untuk menjadi kecil, seperti Allah menjadi manusia, dan bukannya keinginan menjadi besar, seperti Adam ingin menjadi Allah.

Yah…kelihatannya Natal masa kini telah memilih jalur yang tak pas, atau malah jalur yang salah. Entah berapa besar biaya untuk sebuah Natal yang besar, baik secara ukur-an maupun kemewahan. Cobalah pikirkan, ketika sebuah Natal besar berbiaya tinggi diselenggarakan, bukankah ada orang yang sedang kelaparan? Entah berapa ratus juta atau bahkan miliaran rupiah dana yang tersedot demi Natal yang besar. Sementara, entah berapa banyak mereka yang membutuh-kan makanan untuk menyambung kehidupan. Lebih tragis lagi, ada korban yang mati kelaparan sementara lagu-lagu Natal diku-mandangkan, dan hidangan Natal melimpah berlebihan. Mungkin anda akan berkata terlalu berle-bihan, didramtisir, atau apapun juga. Tapi yang pasti, data menca-tat, bahwa memang tiap menit ada kematian karena kelaparan dimuka bumi ini.

Pantas, jika Yesus berkata, “Enyahlah dari hadapan-KU, hai ka-mu orang orang terkutuk, enyah-lah ke dalam api yang kekal yang telah tersedia untuk iblis dan malaikat-malaikatnya. Sebab ketika AKU lapar, kamu tidak memberi AKU makan; ketika AKU haus kamu tidak memberi AKU mi-num, ketika AKU orang asing, kamu tidak memberi AKU tum-pangan, ketika AKU telanjang, ka-mu tidak memberi AKU pakaian, ketika AKU sakit dan dalam pen-jara, kamu tidak melawat AKU”.

Lalu merekapun menjawab DIA, katanya, “Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar, atau haus, atau sebagai orang asing, atau telanjang atau sakit, atau dalam penjara dan kami tidak melayani Engkau”. Maka IA akan menja-wab mereka, “AKU ber-kata kepadamu, se-sungguhnya segala se-suatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk AKU (Matius 25:42-45)”.

Semakin besar ge-reja, semakin banyak asetnya, seringkali ge-reja semakin sibuk dengan urusan internal-nya. Gereja lalai akan panggilannya, gereja hanyut dalam keasyi-kannya sebagai yang besar dan penting. Tra-gisnya, disituasi seperti itu gereja justru merasa sangat maju dan diber-kati. Maklumlah, keka-yaan dan keunggulan kuantitas telah menjadi ukuran diberkati Tuhan. Maka sekali lagi, tidaklah mengherankan gugatan Yesus kepada orang percaya atas kelalaian mereka untuk peduli pada sesama, yang tersisih karena kehinaan, kemis-kinan atau pun yang terpuruk karena kesalahan yang dilaku-kannya.

Membuat sebuah acara besar, tentu tak segera bisa disebut dosa. Namun melupakan mereka yang terpinggirkan juga jelas sebuah kesalahan yang fatal: kesalahan yang mengundang murka Tuhan. Tak perlu mem-bantah karena semua tampak nyata. Betapa ironisnya jika Natal, malam damai, ternyata tak menjadi damai bagi mereka yang tersisih. Uang tertumpah ke tempat yang salah, sebuah kebesaran acara, dan tertahan ke arah mereka yang justru sangat membutuhkannya demi hi-dup. Bagaimanapun, ada tersedia jutaan alasan, namun yang diper-lukan hanyalah satu kejujuran akan kebenaran. Sudahkah kita melaku-kannya di malam Natal?

Sangat nyata, kita perlu belajar bersama menghitung ulang seluruh pembiayaan Natal, dan bertanya seberapa besar kepeduliaan pada mereka yang susah. Dan, alangkah indahnya jika kita mengumpulkan dana Natal dalam semangat berbagi dengan mereka yang membutuh-kan. Dengan demikian kita mengha-dirkan Natal yang damai, karena Natal itu memang damai di Bumi. Damai melalui orang percaya yang memengaruhi dunia.

Alangkah merdunya lagu Natal, syahdunya lonceng gereja, dan membahagiakan bagi setiap orang percaya. Bahagia bukan karena acara Natalnya, tapi karena se-mangatnya, semangat membagi damai yang seutuhnya.

Awas, jangan sampai terperang-kap pada kemewahan Natal, dan di saat bersamaan ada kematian yang fatal. Fatal, karena kematian terjadi akibat ketidakpedulian di malam kedamaian. Bukankah ini ber-arti krisis besar telah terjadi di pera-yaan Natal yang besar? Tapi juga, jangan bersembunyi dibalik kunjung kepenjara, panti asuhan, atau orang yang terpinggirkan, lalu merasa kita telah berbuat. Ini bukan hanya sebuah momentum tapi pelayanan yang berkelanjutan.

Sekali lagi, tak perlu anti-besar, tapi perlu sekali berhati besar. Tak perlu anti biaya tinggi, tapi untuk berbagi belajar. Tak perlu anti perayaan Natal, tapi perlu Natal ber-sama mereka yang memang mem-butuhkan sentuhan damai Natal itu. Mari memahami kesejatian Natal dan melakukan apa yang memang men-jadi tuntutan Tuhan yang bersifat final. Selamat hari Natal, bukan harinya tapi semangatnya. Selamat merayakan Natal, bukan acaranya tapi kehadiran nyata, Tuhan Yesus sang bayi Natal.

TUHAN ATAU MAMON

TAK seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada mamon (Matius 6: 24).

Ucapan Yesus ini sangat tegas dan jelas. DIA menuntut setiap orang menentukan sikap dalam memilih pengabdiannya. Hanya saja, terasa tak lazim ketika pilihan yang diperhadapakan adalah Allah atau mamon. Biasanya pilihan umat yang berakhir pada kesalahan adalah penyembahan berhala, bukan penyembahan mamon. Dalam Perjanjian Lama (PL), berulang kali bangsa Israel terjebak pada penyembahan berhala. Jejak kegagalan kerohanian itu tampak jelas dalam berbagai peristiwa, seperti penyembahan pada Baal Berit yang berarti tuhan perjanjian (Hakim-Hakim 8: 33), atau Baal Zebub yaitu tuan dari lalat, dewa dari Ekron (2 Raja-raja 1:2).

Sementara dalam Perjanjian Baru (PB), orang Farisi menuduh Yesus telah bertindak mengusir setan dengan kekuatan dari Beelzebul, yang berarti raja atau penghulu setan-setan (Matius 12: 24). Baal sendiri dalam bahasa Ibrani berarti tuan atau pemilik. Penyembahan pada Baal berarti pemberontakan kepada TUHAN. Jadi, Israel sering kali gagal untuk taat kepada TUHAN karena jatuh pada penyembahan Baal. Baal mereka jadikan tuan atas kematian rohani mereka, pilihan atas kebebalan. Karena itu, berdasarkan tradisi kejatuhan Israel, adalah tepat jika Yesus menegaskan pada umat untuk memilih TUHAN atau Baal, bukan mamon.

Mengapa kini Yesus mengatakan pilihan antara Allah atau mamon? Menarik bukan? Dalam surat Paulus kepada Timotius, Paulus memperingatkan bahwa cinta akan uang adalah akar segala kejahatan. Uang telah mengakibatkan orang menyimpang dari kesejatian iman (1 Timotius 6: 10). Mereka terjebak jerat uang dan menjadi budak uang. Lalu, dalam surat yang kedua kepada Timotius, Paulus juga mengingatkan bahwa di jaman akhir ini manusia menjadi hamba uang (2 Timotius 3: 2). Uang bukanlah dosa, tetapi cinta uang, apalagi menjadi hambanya uang, itulah yang dosa.

Mamon, berasal dari kata Aram “mamona”, yang secara umum berarti kekayaan atau keuntungan, dan dalam pemakaiannya mengacu kepada harta atau uang. Memiliki mamon yang banyak bukan masalah jika cara memilikinya benar. Pilih Allah atau mamon (baca: uang)? Pilihan ini tidak berarti mamon itu salah, karena mamon yang kita miliki adalah berkat Allah juga. Tetapi memilih mencintai mamon, apalagi menghambakan diri pada mamon, bukan Allah, itulah yang salah. Seperti Yesus juga memperingatkan: “Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada”. Jadi, kepada siapa engkau jatuh cinta dan menaklukkan diri, itu adalah pilihan hidup mati.

Pertanyaan pilihan ini menunjukkan betapa dahsyatnya akibat yang ditimbulkan mamon. Mengapa mamon, bukan Baal? Karena, dalam konteks jaman PB, Baal dianggap simbol kesesatan dan bernilai rendah di mata umat Israel, khususnya di lingkungan orang Farisi. Orang Farisi yang selalu merasa suci, ogah dengan Baal, mencibir Baal. Namun, di sisi lain meraka sangat mencintai uang. Para imam Israel banyak mengumpulkan uang atas nama ibadah dan persembahan untuk rumah Tuhan. Mereka juga memakai uang untuk mempengaruhi khalayak ramai agar sepakat menyalibkan Yesus. Mereka sangat suka “mandi uang”, menjadi kekasih uang, sekalipun mereka membenci Baal. Di sisi lain, Baal ternyata semakin hari semakin terpinggirkan. Baal terlau mencolok untuk sebuah kesesatan, sementara mamon sangat halus dan mudah disembunyikan. Seperti Yudas yang selalu tampak mencintai orang miskin dan rindu membagikan uang, ternyata sangat mencintai uang dengan memakai topeng kemiskinan. Atau para imam PB yang selalu mengkhotbahkan kebenaran dan mengajak umat memberi persembahan, namun “menjarahnya” untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.

Di jaman modern, berhala semodel Baal tidak lagi punya tempat. Dia terasa sangat kuno, kurang terhormat. Sementara Tuan Uang, semakin hebat pengaruhnya, bahkan bisa membuat pengikutnya menjadi orang terhormat dengan cara membeli kehormatan. Wow, hebat sekali si Tuan Mamon. Sudah terlalu banyak orang yang diantar ke singgasana kekuasaan oleh Tuan Mamon. Mereka duduk dengan pongah atas jaminan kekuatan uang, dan, setiap orang yang berbeda dengan mereka akan menghadapi kehancuran karena jangkauan Tuan Uang sungguh tak berbatas. Apa pun bisa mereka beli, termasuk imitasi “cinta, kebenaran, keadilan”, dan segala yang mereka inginkan.

Ada banyak orang rela berbuat apa saja, memenuhi tuntutan tuan mamon, demi ijin untuk menjadi pengikutnya. Orang tak segan mempersembahkan korban, termasuk anggota keluarganya, untuk menjadi tumbal kekayaan. Bahkan menjual diri, orang pun rela. Bahkan juga, jauh lebih mudah menemukan orang yang rela menjual Allah demi mamon, dibanding orang yang melepas mamon demi Allah.

Semakin hari dunia semakin menggila, seturut dengan degradasi moral yang semakin menjadi. Jadi, tidaklah heran jika Yesus membuat pilihan antara Allah dan mamon. Kenyataan ini menggugat kita sebagai orang percaya untuk membuat pilihan tepat, agar tidak tersesat di buaian maut Tuan Uang. Di sisi lain, semakin panjang pula barisan gereja yang cinta uang. Orang ber-uang selalu diperebutkan, sementara yang miskin ekonomi terus terabaikan. Belum lagi, menilai gereja berhasil atau tidak, bukan lagi diukur dari azas kualitas melainkan kuantitas. Bukan pertumbuhan iman, melainkan pertumbuhan aset. Umat berubah menjadi deretan angka yang berkaitan erat dengan kolekte.

Uang tentu saja dibutuhkan untuk biaya operasional pelayanan gereja, namun yang menjadi kesalahan adalah karena uang menjadi tuan di dalam gereja. Uang menggantikan posisi Allah, ini yang salah. Nama Allah hanya dipakai untuk mengoleksi uang. Nah, virus Tuan Uang memang telah merangsek masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan umat, khususnya di tengah konteks jaman yang sangat mempertuan uang. Tuan Uang telah membuat jual-beli tidak lagi sekadar meliputi barang, melainkan orang. Bukan untuk menjadi budak pada yang lainnya, melainkan saling memenuhi hasrat. Yang satu hasrat kepuasan rasa, sementara yang lain hasrat kepuasan uang. Tapi yang pasti, keduanya telah menjadi budak uang. Yang satu rusak karena mencari uang, sementara yang lainnya rusak karena menghamburkan uang. Tapi, sekali lagi, yang pasti keduanya rusak karena menjadi budak Tuan Uang.

Sekarang pilihan ada pada kita: pilih Allah atau mamon. Kita harus membuat keputusan bijak, atau kita akan terinjak. Ingat uang bukan dosa, tetapi juga bukan tuan. Uang memang bisa membeli segalanya, tetapi uang bukan segala-galanya. Semoga Anda dan saya mengabdi kepada yang sejati, yaitu Allah pencipta dan pemilik manusia dan alam semesta.

HUKUMAN MATI DAN KEBEBASAN ASASI

HUKUMAN mati terhadap Tibo dkk, yang dituduh sebagai dalang kasus Poso sudah dilaksanakan. Sikap pro dan kontra segera menggelinding, bahkan jauh sebelum eksekusi dilaksanakan. Ada banyak nada penyesalan, mengingat bukti yang diajukan dalam persidangan dianggap tidak terlalu kuat untuk sebuah vonis hukuman mati. Belum lagi nama yang diajukan Tibo dkk, yang ditengarai sebagai pemain utama, tidak diperiksa intensif. Bahkan Brigjen (Pol) Oegroseno, yang mencoba membuka kasus ini, akhirnya lengser dari kursi Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng).

Sekali lagi, muncul berbagai reaksi dan argumentasi. Namun seperti biasa, yang kuat selalu menang. Siapa yang kuat? Entahlah, karena seperti biasa pula selalu “tak terlihat” sekalipun selalu “terbaca”. Sementara, para pemain kakap, yang korup dan memiskinkan rakyat, tak tersentuh, bahkan sering kali bebas murni. Belum lagi rentetan kasus judi, narkoba, yang penuh hawa panas. Banyak orang mengeluh bahwa keadilan sangat mahal di negeri ini. Sementara aparat penegak hukum selalu yakin telah menegakkan supremasi hukum. Tapi kok kenyataannya lain?

Sekarang kembali ke hukuman mati. Apakah hukuman mati itu diperbolehkan? Dalam hal ini perlu sikap yang konsisten, artinya, kita tidak boleh setuju hanya karena si terpidana orang yang kita benci. Atau sebaliknya, kita menolak karena faktor kedekatan emosi. Lalu, apa kata Alkitab? Dalam Perjanjian Lama (PL), hukuman mati itu diatur dengan jelas, mulai dari yang teologis hingga teknis hukumnya. Secara teologis tampak jelas ada hukuman mati dari ucapan Tuhan kepada Adam, agar tidak memakan buah yang ada di tengah taman, karena jika dilanggar hukumannya mati (Kej 2:16-17).

Lalu dalam Kej 9: 6, juga tersirat dengan jelas, “darah ganti darah” (baca: nyawa ganti nyawa). Kemudian secara teknis hukum, juga diatur dalam Kel 21:12-36, yaitu hukuman mati bagi yang sengaja membunuh, dan bagi yang tidak sengaja membunuh diatur secara tersendiri dengan adanya kota perlindungan (Bil 35:10-34). Mengapa ada hukuman mati dalam PL? Yang pertama, adalah sebagai konsekuensi kejatuhan manusia ke dalam dosa, di mana kematian menjadi bagian yang tidak terhindarkan oleh manusia (Kej 3). Kedua, merupakan proteksi Allah terhadap manusia dari kesemena-menaan manusia lainnya.

Ketiga, menekankan bahwa kematian adalah hak Allah semata, bukan manusia. Hukuman mati dibuat agar manusia menghargai kehidupan, dan tidak menganggap rendah nilai kehidupan. Juga agar menjunjung tinggi kekudusan. Dalam PL bukan hanya kasus pembunuhan yang dihukum mati, tetapi juga kasus penyembahan arwah (berhala), perjinahan, dan lainnya (Im 20: 1-27). Sementara dalam Perjanjian Baru (PB), tidak ada pengaturan khusus tentang hukuman mati. Munculnya kata hukuman mati seperti dalam Mat 15:4, Rom 1:32, lebih mengacu pada apa yang diatur dalam PL, dan juga lebih sebagai sebuah pembanding, bukan pelaksanaan.

Dalam PB, Yesus dijatuhi hukuman mati dengan tuduhan yang direkayasa (Mat 27: 11-26). Sebaliknya Yesus sendiri menolong seorang wanita yang hendak dihukum mati karena kasus jinah (Yoh 8: 4-5, band Im 20:10). Jika melihat PL secara bebas, maka ada banyak kasus mengapa seseorang dihukum mati. Dalam konteks kekinian, seseorang hanya dihukum mati karena kasus pembunuhan berencana dan sadis. Tidak ada orang dihukum mati karena menyembah arwah atau berjinah. Artinya, jika pelaksanaan hukuman mati dikaitkan dengan Alkitab, maka terasa dipaksakan (hanya yang tertentu), tidak menyeluruh sebagaimana diatur oleh PL itu sendiri. Di Amerika yang masih menerapkan hukuman mati atas kasus pembunuhan, di sisi lain memberi kebebasan warganya memilih agama, termasuk menyembah arwah. Begitu juga kumpul kebo, homoseks, termasuk aborsi.

Jadi, ditilik dari PL, terasa tidak konsisten, karena seharusnya kasus yang terakhir juga harus dijatuhi hukuman mati. Yesus datang memang bukan untuk meniadakan Taurat, sebaliknya justru menggenapinya (Mat 5:17). Dalam penggenapan ini Yesus berkata dalam Matius 5: 21-47: PL, siapa yang membunuh harus dibunuh (hukuman mati), tetapi dalam semangat PB justru yang ditekankan adalah pengampunan yang bertanggung jawab (bukan asal-asalan). Mengapa? Harus dipahami dalam PL hukuman mati diatur begitu tegas sebagai wujud akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa, dan manusia adalah objek yang harus menanggung hukuman dosa itu. Keberdosaan yang mengakibatkan ketidakberdayaan manusia sebagai gambar yang rusak. Dalam PB, Yesus datang sebagai penebus dosa yang menanggung semua akibat dari dosa dengan kematian-Nya di kayu salib (I Kor 15: 21-22, Rom 5: 6-11, I Pet 2: 24, dll).

Yesus memulihkan gambar yang rusak itu (Ef 5: 21-24). Jadi, sebagai ciptaan yang baru, sudah seharusnya kita mengemban semangat yang baru, yaitu semangat yang menghidupkan, lewat pengampunan. Namun ini jangan disalahartikan sebagai kasih yang mengabaikan hukum. Hukum tanpa kasih itu kejam, namun kasih tanpa hukum adalah liar, tidak bertanggung jawab.

Nah, dalam penegakan hukum sudah seharusnya umat sepakat menolak hukuman mati. Argumentasi bahwa orang akan makin berani melanggar hukum jika tidak ada hukuman mati, tidaklah tepat. Orang berani melanggar hukum bukan karena tidak adanya hukum mati, melainkan lemahnya model hidup benar. Dunia yang semakin kacau dan korup merangsang bertumbuhnya kejahatan. Di sisi lain peran penjara sebagai lembaga pemasyarakatan, yang mendidik (iman, moral, ilmu), menyadarkan dan memasyarakatkan para napi agar menjadi masyarakat yang baik, ternyata sering kali menjadi tempat belajar kejahatan, transaksi kebebasan yang menciptakan keberanian untuk semakin jahat.

Jadi, bukan soal adanya hukuman mati atau tidak. Para penggeliat HAM merasa bahwa hukuman mati sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang paling mendasar, yaitu hak hidup. Bagaimana mungkin hak berpendapat diperjuangkan, namun hak hidup justru terabaikan. Bahwa korban sudah jatuh, itu fakta, maka penjara adalah tempat penyesalan. Hukuman mati justru mempersingkat sekaligus mempermudah, dan meloloskan terdakwa dari hukuman rasa bersalah, dari gugatan hati nurani yang justru merupakan hukuman terberat. Kebebasan, yaitu hidup yang diberi Tuhan, dirampas manusia atas nama hukum. Mengapa tak tersedia ruang perenungan, untuk menyadari kesalahan dan menebusnya dari balik terali besi? Mengapa harus timah panas yang berbicara?

Kembali kepada Alkitab, maka sudah seharusnya ini menjadi perhatian dan tindakan yang tuntas, tak sekadar wacana diskusi yang tidak berujung. Apa yang terjadi dalam penjara harus lebih diperhatikan, dimanusiawikan, dan dijadikan tempat membangun kesempatan untuk sadar dan hidup benar. Kalaupun seorang terpidana harus mati, biarlah yang berhak mengambil nyawa mengesekusinya, yaitu Tuhan. Masak iya Tuhan kehilangan kendali atas hidup manusia, atau lalai menegakkan kebenaran dan keadilan. Semoga kita semakin dewasa memahami dan menghargai nilai hidup. Bagi yang mencabut nyawa, sadarlah, Anda tak berhak untuk itu dengan alasan apa pun. Mengatasnamakan hukum pun tak cukup untuk menghabisi hidup seseorang. Akhirnya selamat bebas yang bertanggung jawab, bukan yang kebablasan.