Tarik Menarik yang Tidak Menarik

Akhirnya Presiden dan Wakil Presiden terpilih SBY-JK resmi dilantik oleh MPR, dihadiri oleh kepala pemerintahan dari 5 negara dan utusan dari 5 negara. Namun, pelantikan ini menjadi agak kurang sreg berkat ketidakhadiran pre-siden dan wakil presiden sebelum-nya, yaitu Mega-Hamzah. Tidak jelas mengapa. Tapi yang jelas polemik datang silih berganti dan satu yang pasti, yaitu rakyat harus lagi merasakan kebingungan yang dimunculkan dalam argumentasi oleh para politisi dan pemimpin negara tercinta ini.

Pelantikan yang telah usai, sempat diwarnai oleh berbagai interupsi tanpa isi di dalam acara yang kelas tinggi. Beberapa rekan dari media lainnya menyebut si penginterupsi sedang belajar interupsi supaya kelihatan aksi. Vokal nih ye! Penginterupsi sampai lupa kalau pelantikan itu dihadiri oleh tamu asing yang tersenyum melihat aksinya. Entah senyum geli atau kagum betapa Indonesia semakin canggih belajar demokrasi. Maklum, di negeri ini, berbeda karena bebal pun dianggap demokrasi. Segera setelah pelantikan, dilanjutkan dengan pembentukan dan pengumuman kabinet yang diberi nama Kabinet Indonesia Bersatu.

Kabinet yang dinilai beberapa pengamat sebagai kabinet kegemukan ini sempat tertunda pengumumannya. Ter-tundanya pengumuman disinyalir karena alotnya tarik-menarik antar kepentingan partai yang merasa berjasa atau yang berusaha men-jual jasa (biro jasa dadakan). Bahkan sebelum pengumuman, ketegangan tarik-menarik itu sempat naik ke permukaan ketika salah seorang petinggi Partai Bulan Bintang (PBB) mengancam: jika partainya tidak memperoleh empat kursi, PBB akan menarik dukungannya. Kecil-kecil minta kursi empat. Bah, hebat kali (dialek Medan). Namun tidak lama kemudian Yusril, sang ketua, meralatnya: PBB tidak akan menarik dukungannya. Sekelebat langsung terlihat betapa tidak ada yang abadi dalam dunia politik. Semua serba instan dan berubah sangat cepat. Tidak heran jika peta koalisi kebangsaan pun segera berubah seturut dengan hengkangnya PPP yang memang selalu sulit dipegang. Koalisi kebangsaan berhasil merebut kursi ketua DPR, namun gagal merebut kursi ketua MPR. Padahal mereka sangat yakin mendominasi Senayan.

Dan kini, PPP yang sudah tidak lagi bercokol di Koalisi Kebangsaan, eh malah menangguk kemenangan di koalisi seberang dengan mendapatkan jatah kursi menteri di kabinet. Begitu pula PAN yang semula agak malu-malu berada di barisan SBY-JK, juga menempatkan kadernya di kursi menteri. Lihat saja, Bambang Soedibyo yang sesung-guhnya ahli di bidang keuangan dan pernah menjadi menteri keuangan, kini malah menjadi menteri pendidikan nasional (mendiknas). Tentu saja ini menjadi pertanyaan serius: Akan ke manakah arah pendidikan kita? Berorientasi pada kuantitas atau kualitas?

Nah inilah salah satu hasil tarik-menarik partai yang tidak menarik bagi rakyat. Memang, pagi-pagi Presiden SBY sudah mengingatkan agar jangan menjawab ke-raguan rakyat dengan retorika melainkan kerja nyata. Tentu saja semoga nyata. Itu harapan kita sebagai anak bangsa. Jadi ucapan Presiden SBY juga harus diamati sampai menjadi nyata. Namun di sisi lain, kita dapat melihat, bahwa partai politik ternyata belum juga cukup berjiwa besar, untuk berpikir besar, demi kepentingan besar bangsa dan negara. Kepentingan partai yang bermuara pada penguasaan jumlah kursi tanpa peduli pada azas kelayakan, mengakibatkan munculnya pemaksaan. Sudah tentu di negara tercinta ini ada banyak ahli yang jauh lebih tepat untuk menduduki kursi menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Hanya saja, sejauh ini banyak di antara mereka yang tidak memiliki partai yang mampu bernegosiasi untuk tawar-menawar kursi menteri.

Entah kapan, tetapi nanti di satu waktu kita berharap ada petinggi atau kader partai yang menolak kursi menteri yang menuntut keahlian yang tidak terlalu dikuasainya, dan memberinya pada orang yang tepat. Kita berharap, mereka berkata bahwa mereka akan mengawal perjalanan bangsa ini dan selalu bersama rakyat, berpihak pada kebenaran, keadilan, dan tentu saja kelayakan. Namun, juga jangan tidak mau kursi karena gengsi atau marah pada kekalahan yang dinilai memalukan. Dan penolakan itu hanyalah usaha me-naikkan pamor saja. Itu bunglon namanya. Jadi semua memang harus dicermati secara ketat supaya rakyat tidak terperangkap kampanye murahan. Kita menanti munculnya sikap kenegarawanan yang sejati di bumi pertiwi ini? Bisakah menjadi pemimpin yang tidak mabuk hormat, yang tidak hanya pintar berdebat, yang tidak hanya bermain sandiwara, dan tentu saja bukan pendendam? Sebab pemimpin bukan hanya untuk negara, gereja juga membutuhkannya.

Sekarang ini, kebanyakan pemimpin, termasuk di gereja bagaikan pemain sirkus saja: lompat sana lompat sini, yang penting fulus. Membangun pengikut diri dan bukan pengikut Kristus. Semoga gereja tetap menarik karena kebenaran bukan kebohongan. Buatlah tarik-menarik itu menarik karena kepentingan rakyat yang diutamakan.

Sumber : reformata.com

Leave a comment