Category Archives: GEREJA

20131124 Gereja, Ajaran Dan Kebenaran

GEREJA, TEROR, TERORIS DAN TERORISME

Secara sederhana, TERORISME adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan. Tindakan TEROR ini dilakukan secara kontiniu dan konsisten. Teroris atau si penebar teror itu mengharapkan agar masyarakat—pribadi atau kelompok—bahkan institusi merasa takut dan akhirnya memenuhi keinginan si penabur teror.

Teror itu bisa muncul dalam bentuk pembunuhan berantai secara sporadis. Juga bisa dengan pola dan sasaran tertentu. Si penabur teror bisa perorangan atau kelompok. Dan ini biasanya dilakukan sebagai ekspresi kekecewaan yang mendalam atas suatu hal atau kebijakan yang dianggap merugikan diri atau kelompoknya. Dia selalu punya hasrat untuk membalaskan sakit hatinya itu dengan segala cara tanpa peduli apakah tindakan balas dendamnya itu menimbulkan kerusakan atau kerugian bagi banyak pihak.

Namun, masa kini, terorisme kebanyakan berasal dari kelompok yang memiliki ideologi radikal, eksklusif, yang meyakini hanya kelompok mereka saja yang benar. Mereka juga berpendapat bahwa tujuan yang hendak diperjuangkan oleh kelompok ini adalah kebenaran satu-satunya. Indoktrinasi di dalam kelompok ini berlangsung ketat, sampai-sampai nalar sehat pun dimatikan atas nama tujuan mulia kelompok mereka. Semua hal, bahkan keluarga sekalipun harus dikesampingkan demi tujuan kelompok.

Kelompok yang dinamakan teroris ini tampil dalam warna keras dan menghalalkan segala cara untuk meraih tujuannya. Mereka yakin bahwa tujuan atau cita-cita mereka akan dapat dicapai dengan dan melalui teror. Dan cita-cita itu dicanangkan oleh pendirinya, yang diyakini oleh setiap pengikutnya. Si pendiri biasanya adalah orang yang memiliki kharisma dan wibawa besar dalam kelompoknya. Uniknya, kelompok yang nyata-nyata teroris ini malah menuduh balik pihak-pihak yang menghalangi mereka itu sebagai teroris.

Nah, para TERORIS ini menebar TEROR, yang mereka yakini sebagai cara berjuang yang paling efektif. Yang menjadi sangat menakutkan adalah model yang mereka pilih seperti BOM bunuh diri. Menakutkan, karena siapa saja bisa jadi korban: tua, muda, besar, kecil, kaya, miskin. Cara ini sesungguhnya tidak efektif, (terkesan frustrasi), karena sasarannya tidak jelas dan tidak tepat. Karena ulah mereka, deretan orang yang sakit hati pun semakin panjang karena nyawa anggota keluarganya direnggut oleh BOM bunuh diri.

Volunter (sukarelawan) yang meledakkan diri dengan BOM jumlahnya semakin banyak, sementara para pemimpinnya tetap saja berkeliaran bahkan sempat menikah dan merasakan kenikmatan di dalam pelariannya. Ini merupakan sisi paradoks yang seharusnya bisa menjadi pintu masuk untuk menyibak dan menyobek gerakan radikal ini. Dan ini tentu saja tugas berat aparat keamanan yang perlu mendapat dukungan dari setiap komponen bangsa. Aparat keamanan, khususnya polisi, dituntut mampu menampilkan diri dengan baik sebagai alat yang mampu memberi rasa aman pada rakyat, bukan sebaliknya. Kerja sama yang berkualitas kita butuhkan dalam menjaga keamanan bangsa yang besar ini.

Peran apa yang bisa dimainkan gereja di tengah situasi seperti ini? Pertanyaan ini penting, apalagi mengingat gereja seringkali menjadi sasaran pertama dan utama. Gereja harus sadar dan berbenah diri dalam mengaktualisasi kehadirannya di muka bumi sebagai pembawa damai, khususnya di bumi pertiwi, Indonesia yang kita cintai, yang sering diwarnai aneka gejolak manusia maupun alamnya. Gereja jangan berdiam diri di atas mercusuar, tapi perlu turun membumi, seperti Yesus Kristus yang membumi dengan meninggalkan surga yang mulia. Gereja tidak cukup hanya menyampaikan untaian kata sebagai khotbah atau himbauan, tetapi dituntut untuk merealisasikannya. Seperti Yesus Kristus yang mengasihi umat-NYA, dan untuk itu Dia datang di dalam kehidupan manusia, dan menghidupi kehidupan kita dengan menanggung segala kesalahan dan dosa kita. Kekerasan memang tidak akan pernah habis dari muka bumi yang semakin berdosa, namun panggilan tugas orang percaya juga tidak pernah selesai hingga kedatangan Yesus yang kedua kalinya.

Ketika aparat keamanan, mencoba membongkar jaringan kekerasan, bukankah itu waktu yang sangat tepat bagi gereja untuk menabur benih damai? Gereja tak usahlah membangun menara megah, tapi hadir dan berbagilah dengan rakyat kebanyakan yang terbilang sangat susah. Belajar mendengar keluh kesah rakyat, dan memberikan titipan yang Tuhan titipkan pada kita, dan jangan berdalih, “itu milikku semuanya”. Gereja, dituntut memberi pencerahan dalam bahasa surga yang membumi, yang dipahami seantero pertiwi, bukan bahasa “surga” ciptaan agama, yang seakan membuat gereja suci tak terjamah. Dibutuhkan sebuah kesadaran konkrit.

Ketika teroris—demi keyakinan akan tujuannya—berani meledakkan diri bersama bom, mengapa gereja justru bersembunyi (berkelit dan berdalih) untuk sebuah kebenaran yang Tuhan Yesus ajarkan? Ketika teroris bergerak tanpa henti dan berusaha kompak tak mengkhiananti kelompoknya, mengapa gereja justru terpecah, saling menunding dan mengklaim sebagai wakil surga? Padahal Yesus berkata, “hendaklah engkau saling mengasihi dan menjadi satu…” (Yohanes 17).

Ah, semoga masih ada waktu bagi gereja berbenah diri, menjadi seperti apa yang dikehendaki Yesus, kepala gereja. Ya, semoga.*

GEREJA DAN SK BERMASALAH DUA MENTERI

Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 Menteri yang menimbulkan banyak gonjang ganjing di lingkup umat beragama, merupakan produk bersama menteri agama dan menteri dalam negeri yang dikeluarkan tahun 1969. Banyak sudah ulasan teknis, politis, praktis, hingga aspek hukum di berbagai media, termasuk tabloid REFORMATA, yang mencoba mengangkatnya dari berbagai aspek tadi. SKB ini memiliki banyak “keunggulan aneh”.

Sebagai sebuah surat keputusan, SKB ini “terunggul dalam waktu” karena sudah berlaku 36 tahun sejak 1969. Kemudian “terunggul dalam jangkauan”, karena menjangkau seluruh umat beragama di Indonesia, yang memang semua beragama. Lalu “terunggul dalam kekuasaan” karena seakan tak tersentuh apalagi tercabut. Belum lagi “terunggul dalam kerancuan”, yang menimbulkan kerancunan dalam sudut pandang hukum, karena SKB ini dalam prakteknya, menempatkan diri melewati UUD 45 pasal 29, tentang kebebasan beragama, Pancasila, terutama sila pertama.

Padahal, SK hanyalah surat keputusan yang sangat terbatas ruang gerak dan waktunya. Apalagi, cuma SK menteri yang tidak pernah punya hak membuat produk perundang-undangan, yang memang merupakan kewenangan legislatif. Karena itu, tepat jika disebut SK(Bersama) sebagai SK(Bermasalah), karena memang senantiasa menimbulkan masalah, tanpa sekalipun memberikan keuntungan, apalagi kerukunan bersama.

Sekalipun dalam SKB tersebut tercantum kalimat “menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanan pengembangan dan ibadat agama oleh pemeluknya”, namun dalam prakteknya, SKB itu lebih sering dimanfaatkan “massa” untuk menimbulkan masalah dan menjadi “tontonan” aparat penegak hukum—yang katanya selalu terpanggil untuk menegakkan hukum. Entah apa agenda akhirnya, tapi yang pasti, tarik-menarik politis lebih dominan melatarbelakangi lahirnya SKB ini, yang dalam perjalanannya juga menjadi “alat bantu” para petualang politik maupun kekuatan tertentu dalam menciptakan atau mengalihkan isu-isu. Belum lagi lalu lintas uang keamanan jika situasi tidak aman, sungguh bisa menjadi bisnis yang mengiurkan. Ironisnya, dulu kita dijajah Belanda dengan politik devide et impera, kini berganti menjadi “kita saling menjajah antar-sesama bangsa”.

Nah, di sini gereja dituntut untuk jeli dan terlibat di kancah kacau, agar bisa menciptakan suasana teduh. Gereja perlu tampil lebih elegan dan bersatu tanpa terkurung dalam sekat-sekat denominasi. Tak juga terikat dalam angan membangun diri sendiri. Untuk elegannya, gereja perlu mengenal, menggali dan mengkritisi SKB itu sendiri, baik sejarah, keabsahannya dan implikasinya. SKB ini perlu menjadi bahan diskusi, bukan hanya bagi para petinggi gereja, melainkan seluruh umat.

Kelemahan kebanyakan gereja adalah tidak mengetahui dengan tepat isi SKB, dan kurang menyadari haknya dalam beragama dan ibadah sebagai anak bangsa yang dilindungi UUD. Kekurangtahuan ini menjadi embrio ketakutan yang berlebihan. Hukum harus ditegakkan, umat harus berani demi kebenaran, bukan pembenaran. Dari segi kebersamaan, gereja sangat perlu membangun jejaring harmonis, yang dulu terasa dalam gerakan oikumene yang perlu mendapat ruang besar dari berbagai gereja, dengan membuang virus curiga.

Perasaan unggul untuk mendominasi, harus diganti menjadi kasih yang bukan kompromi, tapi kebersamaan yang sejati dalam keragaman perbedaan yang ada. Dengan demikian, gereja akan tampil kuat dalam menyuarakan dan menegakkan kebenaran dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia yang memiliki darah yang sama, dan menumpahkan darah yang sama pula, untuk kemerdekaan RI, yaitu darah merah putih. Gereja harus mampu tampil sebagai agen pemersatu, sesuai panggilannya. Di sisi lain, kehadiran gereja di lingkup sosial juga jangan sampai terjebak bersosialisasi dengan sesama anggota gereja saja. Gereja perlu hadir, berbagi rasa, berbagi tenaga, berbagi rejeki dengan masyarakat di sekitarnya. Bukankah Yesus telah bersabda, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”.

Karena itu, pengaktualisasian yang diajarkan Yesus niscaya akan membawa gereja hadir seutuhnya dalam kehidupan kesehariannya. Yesus Kristus sebagai “manusia surgawi” ternyata sangat membumi. Bukankah kita manusia bumi sudah seharusnya juga membumi? Sebuah tanya yang butuh aktualita. Dengan kejelian dan kehadiran gereja di bumi pertiwi, kiranya SKB 2 Menteri, tak lagi menjadi isu yang selalu diisukan dalam kancah ketegangan antarumat beragama, dan ruang subur untuk pembodohan kerukunan umat beragama, apalagi jadi alat kontrol penguasa yang cuma mendapat titipan kekuasaan, dari Tuhan dan umat.

Semoga gereja jeli menelanjangi para pembodoh, dan hadir dalam kebersamaan anak-anak bangsa yang majemuk. Dan, semoga pula para pembuat keputusan “bertobat” selagi masih sempat, menghapus pembodohan masa lalu dan dosa yang terus bergulir, supaya bangsa kita punya harapan untuk masa depan.*

GEREJA DAN PERBEDAAN

Perbedaan bukanlah kata asing di Alkitab. Sejak mula manusia diciptakan, perbedaan justru merupakan ekspresi kekayaan yang tidak terbilang. Tataplah alam semesta yang megabesar itu, dan catatlah ada apa di sana? Bintang, bulan, matahari dan planet lainnya, ada dalam perbedaan namun setia dalam kesenadaan, yakni keteraturan. Di dunia, air pun tak kalah semaraknya dengan perbedaan, bahkan warna-warni perbedaan menjadi kekaguman tersendiri atas kekayaan lautan. Dan, tentu saja, manusia sebagai superstar ciptaan Tuhan, diciptakan dalam kesehakekatan sebagai manusia (yang satu), namun sebagai pria dan wanita (yang dua).
Kekayaan dalam perbedaan ini adalah anugerah besar. Perbedaan yang menjadi ruang luas di mana cinta kasih bertumbuh, berkembang dan berbuah. Perbedaan yang memungkinkan manusia saling membutuhkan dan saling mengisi. Tragis, itulah kata yang tepat untuk melukiskan kejatuhan ke dalam dosa yang mengakibatkan perbedaan menjadi malapetaka bagi manusia. Saling mengasihi berubah menjadi saling menguasai. Saling mengisi juga berubah menjadi saling meniadakan.

Namun di kegelapan itu, muncul sinar pengharapan dari salib yang kembali mempersatukan. Yesus telah tersalib, menjembatani keterpisahan manusia dengan Allah dan manusia dengan manusia. Kematian-Nya memulihkan dan memperbaharui hubungan antaranak manusia. Dan untuk itu Dia berkata “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:39).

Gereja sebagai agen Kasih dituntut untuk mampu memainkan perannya secara maksimal. Pada dirinya sendiri, gereja diingatkan bahwa perbedaan adalah keanekaragaman dalam kesatuan. Paulus dalam I Korintus 12:12-31, melukiskan kepelbagaian sebagai banyak anggota namun satu tubuh, yaitu tubuh Kristus. Perbedaan umat adalah kekayaan yang harus diurus, bukan diberangus. Perbedaan yang harus tunduk pada kekuasaan Kasih (kuasa untuk saling berbagi bukan menguasai).

Itu sebab, perbedaan dalam konteks denominasi harus disikapi dengan bijak dan elegan. Perpecahan yang permanen di antara sesama tubuh Kristus hanyalah ekspresi kemiskinan Kasih Kristus. Jadi, persatuan gereja, sebagai tubuh Kristus, adalah sebuah keniscayaan. Lalu, bagaimana dengan perbedaan keyakinan (agama)? Apakah mungkin lahir sebuah persatuan? Alkitab memang secara tegas mengatakan, “tidak mungkin gelap bersatu dengan terang”. Namun Alkitab yang sama juga berkata, “Kasihilah sesamamu manusia, bahkan musuhmu sekalipun” (Lukas 6:27).

Jadi, perbedaan yang tidak tersatukan tidak sama dengan permusuhan abadi. Bahkan, gelap dan terang harus diterjemahkan sebagai sebuah kesempatan: kesempatan untuk menerangi yang gelap. Permusuhan, adalah antara gelap dan terang (hakekat sifat), bukan manusianya. Di sini gereja harus memainkan peran utamanya, yang menjadi panggilan hidupnya, yakni, menabur damai di Bumi. Gereja tak diminta mengumbar amarah pada kejahatan dari “musuh gereja”. Namun, gereja dituntut menyuarakan kebenaran dalam keberanian kepada siapa saja, termasuk “musuh gereja”. Sebuah sikap paradoks (dua hal bertolak belakang, tapi keduanya betul) yang tak mudah, tak mengumbar amarah tapi bersuara lantang. Tak mudah, tetapi juga tak susah bagi mereka yang telah mengalami pertobatan.

Pertobatan, yang membawa manusia percaya mampu bahagia dalam penderitaannya dan tersenyum dalam kedukaannya. Batapa dahsyatnya kekuatan gereja, maka sangat niscaya menaklukkan musuh dengan kuasa kasih. Persatuan dalam perbedaan keyakinan adalah wilayah kedaulatan Tuhan, namun membagi diri, untuk hidup saling menghargai dan mengasihi adalah panggilan kita bersama sebagai gereja Tuhan. Di tengah situasi seperti ini, khususnya dalam konteks Indonesia yang sangat pluralis (suku, agama, ras), umat Kristen harus melengkapi diri dengan kesadaran dan pembelajaran yang tak henti.

Sadar, bahwa kita masih di Bumi, dan umat butuh komunikasi dalam “bahasa bumi”, bukan “bahasa angin surga”, yang jauh dari realita hidup. Sadar, bahwa kita tak sendiri, karena itu perlu pembauran dalam pergaulan pluralis, sebagai reseprentasi Kasih. Sadar, bahwa yang “tidak mudah” itu tidak sama dengan “tidak bisa”. Sadar, kesempatan sangat terbuka, jangan berkurung diri dan terperangkap dalam ruang doa dan puasa, tapi juga tindakan nyata. Melengkapi diri sebagai anak bangsa yang tahu hak dan kewajibannya.

Apakah gereja fasih berdiskusi tentang UUD, UU, kepres, kepmen? Kalau tidak, bagaimana mau berbicara! Jangan hanya sekadar menghafal ayat suci, tapi tidak mampu mengaktualisasikannya. Apakah gereja terus turut berpartisipasi, bukan saja membangun negeri tetapi juga mengawasi. Kalau semua dikerjakan, tentu saja jauh lebih mudah, memperhitungkan berbagai kemungkinan yang bisa merusak sendi-sendi kebersamaan, dalam berbagai perbedaan, sebagai kekayaan bangsa.

Akhirnya, selamat belajar menyikapi perbedaan dalam kedewasaan, sehingga, anda layak disebut pengawal bangsa dan bukan noda bangsa.*