Tarik Menarik yang Tidak Menarik

Akhirnya Presiden dan Wakil Presiden terpilih SBY-JK resmi dilantik oleh MPR, dihadiri oleh kepala pemerintahan dari 5 negara dan utusan dari 5 negara. Namun, pelantikan ini menjadi agak kurang sreg berkat ketidakhadiran pre-siden dan wakil presiden sebelum-nya, yaitu Mega-Hamzah. Tidak jelas mengapa. Tapi yang jelas polemik datang silih berganti dan satu yang pasti, yaitu rakyat harus lagi merasakan kebingungan yang dimunculkan dalam argumentasi oleh para politisi dan pemimpin negara tercinta ini.

Pelantikan yang telah usai, sempat diwarnai oleh berbagai interupsi tanpa isi di dalam acara yang kelas tinggi. Beberapa rekan dari media lainnya menyebut si penginterupsi sedang belajar interupsi supaya kelihatan aksi. Vokal nih ye! Penginterupsi sampai lupa kalau pelantikan itu dihadiri oleh tamu asing yang tersenyum melihat aksinya. Entah senyum geli atau kagum betapa Indonesia semakin canggih belajar demokrasi. Maklum, di negeri ini, berbeda karena bebal pun dianggap demokrasi. Segera setelah pelantikan, dilanjutkan dengan pembentukan dan pengumuman kabinet yang diberi nama Kabinet Indonesia Bersatu.

Kabinet yang dinilai beberapa pengamat sebagai kabinet kegemukan ini sempat tertunda pengumumannya. Ter-tundanya pengumuman disinyalir karena alotnya tarik-menarik antar kepentingan partai yang merasa berjasa atau yang berusaha men-jual jasa (biro jasa dadakan). Bahkan sebelum pengumuman, ketegangan tarik-menarik itu sempat naik ke permukaan ketika salah seorang petinggi Partai Bulan Bintang (PBB) mengancam: jika partainya tidak memperoleh empat kursi, PBB akan menarik dukungannya. Kecil-kecil minta kursi empat. Bah, hebat kali (dialek Medan). Namun tidak lama kemudian Yusril, sang ketua, meralatnya: PBB tidak akan menarik dukungannya. Sekelebat langsung terlihat betapa tidak ada yang abadi dalam dunia politik. Semua serba instan dan berubah sangat cepat. Tidak heran jika peta koalisi kebangsaan pun segera berubah seturut dengan hengkangnya PPP yang memang selalu sulit dipegang. Koalisi kebangsaan berhasil merebut kursi ketua DPR, namun gagal merebut kursi ketua MPR. Padahal mereka sangat yakin mendominasi Senayan.

Dan kini, PPP yang sudah tidak lagi bercokol di Koalisi Kebangsaan, eh malah menangguk kemenangan di koalisi seberang dengan mendapatkan jatah kursi menteri di kabinet. Begitu pula PAN yang semula agak malu-malu berada di barisan SBY-JK, juga menempatkan kadernya di kursi menteri. Lihat saja, Bambang Soedibyo yang sesung-guhnya ahli di bidang keuangan dan pernah menjadi menteri keuangan, kini malah menjadi menteri pendidikan nasional (mendiknas). Tentu saja ini menjadi pertanyaan serius: Akan ke manakah arah pendidikan kita? Berorientasi pada kuantitas atau kualitas?

Nah inilah salah satu hasil tarik-menarik partai yang tidak menarik bagi rakyat. Memang, pagi-pagi Presiden SBY sudah mengingatkan agar jangan menjawab ke-raguan rakyat dengan retorika melainkan kerja nyata. Tentu saja semoga nyata. Itu harapan kita sebagai anak bangsa. Jadi ucapan Presiden SBY juga harus diamati sampai menjadi nyata. Namun di sisi lain, kita dapat melihat, bahwa partai politik ternyata belum juga cukup berjiwa besar, untuk berpikir besar, demi kepentingan besar bangsa dan negara. Kepentingan partai yang bermuara pada penguasaan jumlah kursi tanpa peduli pada azas kelayakan, mengakibatkan munculnya pemaksaan. Sudah tentu di negara tercinta ini ada banyak ahli yang jauh lebih tepat untuk menduduki kursi menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Hanya saja, sejauh ini banyak di antara mereka yang tidak memiliki partai yang mampu bernegosiasi untuk tawar-menawar kursi menteri.

Entah kapan, tetapi nanti di satu waktu kita berharap ada petinggi atau kader partai yang menolak kursi menteri yang menuntut keahlian yang tidak terlalu dikuasainya, dan memberinya pada orang yang tepat. Kita berharap, mereka berkata bahwa mereka akan mengawal perjalanan bangsa ini dan selalu bersama rakyat, berpihak pada kebenaran, keadilan, dan tentu saja kelayakan. Namun, juga jangan tidak mau kursi karena gengsi atau marah pada kekalahan yang dinilai memalukan. Dan penolakan itu hanyalah usaha me-naikkan pamor saja. Itu bunglon namanya. Jadi semua memang harus dicermati secara ketat supaya rakyat tidak terperangkap kampanye murahan. Kita menanti munculnya sikap kenegarawanan yang sejati di bumi pertiwi ini? Bisakah menjadi pemimpin yang tidak mabuk hormat, yang tidak hanya pintar berdebat, yang tidak hanya bermain sandiwara, dan tentu saja bukan pendendam? Sebab pemimpin bukan hanya untuk negara, gereja juga membutuhkannya.

Sekarang ini, kebanyakan pemimpin, termasuk di gereja bagaikan pemain sirkus saja: lompat sana lompat sini, yang penting fulus. Membangun pengikut diri dan bukan pengikut Kristus. Semoga gereja tetap menarik karena kebenaran bukan kebohongan. Buatlah tarik-menarik itu menarik karena kepentingan rakyat yang diutamakan.

Sumber : reformata.com

Gereja dan Pemberitaan Injil

Pemberitaan Injil adalah tugas yang melekat pada gereja. Di mana gereja berada, maka di situ Injil harus diberitakan. Gereja yang tidak memberitakan Injil sama dengan gereja yang mati suri: memiliki raga namun tanpa jiwa. Itulah sebabnya pemberitaan Injil yang didasarkan pada Matius 28:19-20 disebut sebagai amanat agung . Keagungan amanat itu terletak pada pemberi perintah, yaitu Yesus Kristus, kepala gereja yang agung. Sementara amanat-nya adalah memberitakan Injil yang berpusat pada Yesus Kristus yang datang menyatakan diri di Bumi, kepada umat manusia (I Korintus 15:1-8). Dan amanat yang agung itu ditujukan kepada orang percaya, yang sejatinya tidak agung, agar menjadi agung, dengan memberitakan Injil.

Jadi, pemberitaan Injil adalah sebuah kesukacitaan, di mana pemberita dan penerimanya sama-sama bersukacita. Sehingga tidak-lah berlebihan, bahkan sangat tepat, ketika Rasul Paulus berkata, Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik (Roma 10:15). Hanya saja, ada hal yang signifikan untuk menjadi perhatian umat Tuhan, yaitu wujud pas pemberitaan Injil itu sendiri. Di titik ini, gereja seringkali terjebak pada pola yang telah mentradisi, bahwa pem-beritaan Injil adalah kebaktian ke-bangunan rohani (KKR) atau per-sekutuan Injil (PI) pribadi, atau kelompok sel. Sederhananya, Injil diberitakan dengan cara bertutur, jarang sekali dengan perbuatan konkrit, menolong sesama, seba-gai buah Injil.

Tindakan menolong sesama dalam wujud berbagai proyek kemanusiaan bahkan seringkali di-curigai dan dilabelisasi sebagai social gospel. Sebuah label sisnis, yang melukiskan Injil yang kehilangan kuasa pemberitaan-nya. Di sisi lain, pemberitaan Injil pun dimonopoli oleh para rohani-wan yang tidak jarang memprok-lamirkan diri sebagai agen utama kerajaan surga. Kelompok ini, sangat menikmati kebergantung-an umat kepada diri mereka sebagai pemimpin agama. Jadi, bagaimana sejatinya pemberitaan Injil itu? Menurut hemat saya, gereja harus berani memerhati-kan semangat Taurat (bukan sekadar kewajiban agama, tetapi kasih (Matius 22:37-40). Dan semangat Injil (bukan sekadar pemberitaan tetapi perbuatan (Yakobus 2:20-22).

Nah, keseimbangan sangat dibutuhkan di sini. Gereja tidak hanya harus memberitakan Injil dengan mengumandangkannya, tetapi juga harus fasih untuk mengaktualisasikannya. Dan pem-beritaan Injil itu pun harus bisa diterjemahkan ke dalam tindakan, bukan hanya monopoli kata-kata berbunga. Paulus berkata, Kamu adalah surat surat pujian yang da-pat dibaca oleh semua orang (II Korintus 2-3). Jadi, gereja tidak boleh terjebak pada retorika KKR, dan merdunya PI pribadi, atau eksklusifnya kelompok sel, tetapi juga mendemonstrasikan tindakan nyata, agar gereja tidak ditolak sesudah memberitakan Injil (I Korintus 9: 24-27). Gereja akan ditolak jika tidak mampu mengen-dalikan diri, tidak bisa mengeks-presikan kasih, yang merupakan warna dominan berita Injil.

Untuk itu perlu perumusan konkrit, agar gereja hadir memberi-takan Injil di pentas dunia, bukan hanya di ruang gereja. Gereja memberitakan Injil dengan tinda-kan nyata, bukan hanya retorika, seimbang, pemberitaan dan per-buatan. Dan, pemberitaan Injil pun tidak lagi dimonopoli oleh para petinggi gereja, tetapi melibatkan semua umat, sebagai orang percaya, pewaris kerajaan surga. Jadi, seluruh unsur tubuh Kristus terlibat aktif. Areal pemberitaan In-jil diperluas, melintasi batas gereja, merambah ke seluruh ruang di ma-na terjadi interaksi antaranak manusia., seperti, ruang kerja, ru-ang studi, ruang gaul, ruang sosial, dan ruang lainnya.

Di areal ini gereja harus unggul. Unggul, bukan dalam bilangan kuantitas, melainkan kualitas, se-perti Yusuf di Mesir atau Daniel di Babel. Pemberitaan Injil pun tak lagi sekadar membacakan dan mengkhotbahkan ayat, tetapi menyatu dalam perilaku yang mudah dicerna. Injil yang menye-nangkan, karena peduli dan mem-bagi kasih kepada sesama tanpa batas agama. Tetapi juga Injil yang tegas, karena jelas posisinya dan tak tersentuh kompromi dengan dosa. Dan sudah barang tentu, Injil yang juga selalu siap me-nanggung seluruh konsekuensi karena warnanya yang tegas dan jelas.

Betapa elegannya seorang pemberita Injil, dan betapa menyenangkannya kehadiran para pemberita itu. Jika ini menjadi kenyataan, maka Injil hadir dan membumi. Dengan demikian, ama-nat Yesus yang tidak kalah agungnya, yaitu jadilah garam dan terang dunia dapat dijalankan semua orang percaya (Matius 5:13-14). Bukankah dengan terangnya dunia berarti terang Injil telah tersebar, menyebar merata menerangi kegelapan dunia? Dan itu berarti kehadiran orang percaya di semua lini kehidupan?

Jadi, gereja tidak boleh mengkudeta areal pemberitaan sebatas tembok gereja, sebatas KKR, sebatas PI pribadi atau sebatas seminar sehari. Sebalik-nya, gereja juga tidak perlu bertindak emosional dengan mengabaikan atau bahkan menia-dakan ruang-ruang sebelumnya. Yang dibutuhkan gereja adalah sebuah keseimbangan dalam kedewasaan pemberitaan Injil, pola pemberitaan Injil yang terus bergerak dinamis seturut perkem-bangan konteks. Selamat menjadi, dan hadir, sebagai gereja yang misioner, kritis dan kontekstual, namun senantiasa setia terikat pada konten (isi) firman yang sejati.*

Sumber : reformata.com

Ketika Persekongkolan Mengabaikan Nilai

Pinang meminang antara para calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) berakhir sudah. Entah apa dan berapa jumlah “mas kawin”nya, tak jelas terdengar. Yang kita tahu cuma perhelatan tiap pasangan berlangsung meriah dan diusahakan seheroik mungkin. Heroik, karena acara dilakukan di tempat yang memiliki nilai sejarah, seperti Tugu Proklamator. Pernyataan mereka pun meniru-niru tokoh-tokoh pejuang, bahkan tidak segan memproklamirkan diri sebagai harapan bangsa.

Media massa yang meliput kembali menuai iklan gelombang kedua setelah pemilihan umum legislatif yang telah usai. Kelima pasang capres dan cawapres, sudah terdaftar di KPU. Masing-masing menyebut diri sebagai pasangan yang sangat ideal: militer -sipil, agamais -nasionalis, dan satu lagi pasangan pembela reformasi. Gong kampanye belum dibunyikan, namun dengan jeli mereka memperkenalkan program sekaligus mendaulat diri sebagai pimpinan yang akan membawa negeri ini keluar dari jurang kehancuran.

Mereka membentuk barisan pendukung, pembela, atau apa pun namanya. Suasananya sangat meriah, maklum baru kali inilah rakyat diberi “kehormatan” memilih junjungannya. Nah, di tengah hiruk-pikuk “pesta kawin” para capres tersebut, hadir pula tamu-tamu yang notabene petinggi parpol peserta pemilu yang tidak bisa mencalonkan diri karena suara yang diperoleh partainya tidak mampu melewati angka 3 %. Tidak lolos menjadi capres-cawapres, tidak membuat mereka “alergi” dengan politik dan kekuasaan. Para tamu agung yang tidak pernah kehabisan akal ini menjalin koalisi dengan partai pemenang pemilu. Untuk apa? Untuk mencari “kesempatan”.

Kesempatan yang dimaksud di sini bisa jadi berupa pembagian jabatan. Dan hal semacam ini memang lumrah dalam dunia politik. Hanya saja, ini menjadi tak lumrah bagi partai partai politik yang meneriakkan idealisme dan janji-janji selangit kepada konstituen (pemilih)-nya. Kuli adalah seorang konstituen sebuah partai. Dengan berang dan suara garang dia berkata, Berkoalisi, itu sama saja dengan menjual ideologi yang saya yakini! Badut, temannya, menjawab dengan lugu, Kok bisa begitu? . Lha, bagaimana tidak! sergah Kuli, tetap dengan nada garang. Wong dulu mendirikan partai, alasannya kan jelas, yaitu untuk memperjuangkan kepentingan kita. Partai didirikan dengan biaya tinggi. Karena itu saya memilihnya. Tetapi sekarang tidak ada yang mau memperjuangkan nasib kita. Lalu, jika kenyataannya adalah kalah mengapa harus berkoalisi? lanjut Kuli masih tetap galak.

Badut mencoba menenangkan temannya, Aku baca koran, para pemimpin partai berkata bahwa kita memiliki persamaan visi. Kuli yang belum mau terima, masih kukuh, Tidak bisa! Kalau memang ada persamaan visi, itu sudah diketahui sejak awal. Kalau ada persamaan visi ngapain ramai-ramai mendirikan partai. Kan lebih bagus bergabung sehingga lebih kuat. Yang terjadi sekarang ini kan akal-akalan, teriaknya.

Badut terdiam sesaat, dia sungguh tak tahu apa-apa soal politik. Dia hanya tahu melucu dengan kata-kata yang apa adanya. Dia tidak biasa menelikung kata, apalagi berpura-pura. Kemarin, waktu memilih partai, dia juga memilih karena mendengar pemimpin partai berkata dalam kampanye, Kami ada untuk Anda, membela yang tersingkir dan mengembalikan hak Anda sekalian. Badut percaya itu, karena baginya adalah tabu untuk menipu. Badut tidak menyadari bahwa bagi para orator partai yang berkoar-koar di atas mimbar itu, tidak menipu justru tabu. Sehingga setelah mendengar dan menyimak argumentasi temannya itu, Badut mendesah dan berkata lirih, dengan mimik wajah yang sama sekali tidak lucu, Aduh, kalo gitu aku ketipu. Mengetahui argumennya dapat diterima, Kuli makin bergairah, Lha iya, bukan hanya kita, tapi jutaan pemilih yang lainnya, kata Kuli. Sekarang, aku malah merasa kehilangan kekuatan, sepertinya untuk mengangkat satu keranjang saja aku tak mampu (biasanya dia mampu mengangkat lebih dari lima keranjang sekaligus).

Kuli dan Badut hanyalah dua dari jutaan pemilih yang harus kecele. Tapi sekali lagi, itulah realita politik. Seharusnya para pemimpin partai politik memiliki etika yang tinggi. Lebih baik memilih sendiri dan tidak berkoalisi dalam memilih presiden, kecuali lewat fraksi, karena tuntutan minimal kursi yang dimiliki. Berkoalisi dengan partai lain, dengan alasan memiliki persamaan visi, hanyalah sebuah pembodohan. Sekalipun kalah, partai politik toh bisa bersikap elegan, memberikan pelajaran politik dengan cara mengakui dan menjelaskan kekalahan. Kemudian memberikan kebebasan kepada para konstituennya memilih capres disertai pembekalan yang cukup. Memberi pernyataan untuk tidak akan terlibat dalam kabinet (tidak mencari kursi) dan memilih menjadi oposisi murni, suatu bukti elegansi. Sedikit banyak, sikap semacam ini memberikan nuansa kemurniaan bagi para petinggi partai, sekaligus keyakinan dan kebanggaan bagi para konstituennya.

Kalah, itu biasa. Tapi jangan memalukan. Malu, ahhh Karena itu setiap politisi harus menyadari risiko politik, dan bukan memanfaatkan ketidaktahuan konstituennya. Entah sampai kapan, tapi semoga kita bisa belajar. Akhirnya, semua itu berpulang pada Anda, yang katanya dikehendaki Yesus menjadi garam dan terang dunia. Masih asinkah saudara, atau sudah tawar karena terlalu banyak tawar-menawar? Sudah terangkah saudara? Atau justru perlu untuk diterangi karena terbiasa gelap-gelapan? Karena itu jadilah cerdas, belajarlah agar tidak mengulangi kesalahan. Selamat memilih presiden dan jangan lagi menjadi korban gosip (ocehan atau SMS gelap tak bertuan).

Sumber : reformata.com

Menjamurnya Caleg dan Munculnya Caleg Jamuran

Mata hati kali ini mencoba menyoroti fenomena menarik seputar “pasaran caleg” yang cukup ramai menjelang pemilu. Situasinya ramai bak pasar kaget. Kaget, karena pasar ini ada sekali dalam lima tahun. Mungkin istilah “pasar kaget” cukup mengagetkan bagi mereka yang suka “kaget-kagetan”, tapi pasti dimaklumi oleh mereka yang memahami betul makna caleg itu sendiri. Menjamurnya caleg di pasar caleg bisa jadi sebagai antisipasi terhadap keberadaan 24 partai politik (parpol) yang membutuhkan ribuan caleg. Di antara caleg “asli” itu, ternyata banyak caleg “jamuran” untuk menutupi kebutuhan mendesak dari parpol yang tidak terlalu siap, atau yang kaget kok bisa lolos verifikasi . Lolosnya parpol dalam proses verifikasi untuk menjadi peserta pemilu, disikapi dengan berbagai komentar. Ada yang bependapat bahwa lolosnya parpol dalam verifikasi, tentu karena kesiapan, kelihaian pengurus parpol yang bersangkutan. Ada pula yang mengatakan karena faktor uang, faktor kebetulan atau bahkan keajaiban.

Apa pun kata orang, yang jelas sudah muncul 24 parpol dengan labelisasinya masing-masing. Parpol-parpol ini tentu membutuhkan (banyak) caleg. Nah, tingginya kebutuhan akan caleg, khususnya bagi parpol baru, menjadi peluang lahirnya caleg jamuran. Caleg jamuran adalah caleg yang lolos bukan karena seleksi kualifikasi tetapi karena koneksi relasi. Menjamurnya caleg bisa dipahami sebagai realita kebutuhan politis, tetapi keberadaan caleg jamuran adalah realita tragedi. Tragedi, karena jika “beruntung” maka mereka akan melenggang ke gedung parlemen yang semakin megah itu.

Kursi parlemen memang sangat menggiurkan dan menjanjikan, bak gula dikerubungi semut. Pebisnis yang menjadi anggota dewan, usahanya tentu akan semakin lancar. Yang ingin cari uang, status sebagai anggota dewan juga cukup menjanjikan. Sebab gaji pokok anggota dewan lumayan besar. Di luar gaji pokok, mereka masih berhak mendapat uang rapat, uang saku, uang dinas dan uang yang peruntukannya “aneh-aneh” seperti uang untuk membeli peralatan rumah tangga, dan lain-lain. Pokoknya, lain dari yang lain. Uang yang melimpah serta wewenang yang semakin besar dan luarbiasa, adalah perpaduan yang sangat menggiurkan. Maka berbahagialah para anggota dewan kita yang memiliki perpaduan itu: harta dan kuasa.

Tetapi, tentu tidak semua anggota legislatif bermental dan bermoral seperti itu, masih ada anggota dewan yang memiliki hati nurani. Mereka vokal, “bernyanyi” dengan nada murni, bukan kadar imitasi. Namun, semakin hari semakin panjang pula barisan “maling teriak maling” yang kita sebut sebagai caleg jamuran itu. Jadi, menjamurnya caleg jamuran ini sangat mengkhawatirkan. Sungguh sulit membayangkan perjalanan bangsa ini jika barisan caleg jamuran ini lebih panjang daripada caleg beneran. Tampilnya caleg jamuran, adalah salah satu dosa dari sekian banyak dosa parpol. Dosa itu sudah melekat sewaktu melewati jalan verifikasi, kongkalikong dalam memilih caleg, lalu melakukan kampanye terselubung. Tiadanya transparansi dalam keuangan juga dosa, lho. Lalu, lidah pun turut berlumur dosa karena dengan mudahnya mengucapkan seribu janji, yang tidak pernah ditepati. Bagi caleg jamuran, janji memang bukan untuk ditepati, sebab itu hanya sekadar komoditi jual-beli. Janji-janji kosong memang masih ampuh, mengingat tingkat pendidikan rakyat terutama di pedesaan masih rendah. Mereka empuk untuk dikibuli.

Memanfaatkan kebodohan rakyat sungguh sebuah tindakan pembodohan yang tidak bertanggungjawab. Namun menipisnya kualitas idealisme, semangat nasionalisme dan profesionalisme, membuat mereka tidak menyadari hal itu. Bahkan caleg jamuran malah bisa bangga dengan apa yang mereka lakukan sekalipun itu salah, karena mereka tidak memiliki cukup kesadaran dan pengetahuan bahwa itu salah. Maklum, kesadaran membutuhkan idealisme, nasionalisme dan profesionalisme, dan itu tidak mereka miliki. Jadi caleg jamuran melakukan pembodohan bukan sebagai strategi karena mereka pintar, melainkan karena kebodohan mereka yang tidak mereka sadari. Caleg jamuran bermain di areal yang tidak dikenal dan tidak dikuasainya. Sungguh mengerikan ketika seorang caleg jamuran bangga atas kesalahan yang dilakukannya karena ketidaktahuannya dan ketidakmauannya untuk belajar atau minimal mendengar. Amsal 19:3 mengatakan: Kebodohan menyesatkan jalan orang, lalu gusarlah hatinya terhadap Tuhan. Dalam ayat 2, penulis Amsal bahkan berkata: Tanpa pengetahuan, kerajinan pun tidak baik.

Coba Anda membayangkan seorang yang sudah tidak berpengetahuan juga tidak rajin. Faktor ketidakrajinan sangat mudah dimonitor dalam absensi para anggota dewan yang banyak bolos. Sedangkan soal berpengetahuan atau tidak, itu tampak pada nilai bicaranya yang cuma NATO (no action talk only). Butuh kejujuran untuk mengakuinya. Tapi soal pengakuan, bangsa kita ini sangat berbakat untuk berkelit. Oh, caleg jamuran, Anda hanya memperpanjang persoalan. Adalah bijak jika menawarkan apa yang kita tidak mampu kepada orang yang mampu sehingga tepat guna.

Bagaimana dengan tanggung-jawab umat Kristen terhadap kenyataan ini, khususnya para caleg yang ada di berbagai partai politik? Ada baiknya Anda berhenti sejenak, melihat diri dan bertanya, Apakah saya memang layak untuk jadi caleg? Jika tidak, mundur adalah salah satu pilihan tepat. Atau jika Anda ingin maju terus, berbenah dirilah, agar layak jadi caleg. Sementara bagi umat Kristen yang memilih, awas jangan sampai memilih caleg jamuran. Umat dituntut cermat, jangan sampai membuat parlemen kita menjadi jamuran karena terlalu banyak mengirim caleg jamuran. Akhirnya selamat memilih.

Sumber : reformata.com